Ketika aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan

Perenungan 1 Raja-raja 21:1–19

Abi
5 min readOct 2, 2022
Waterbound (study), painting by Megan Lightell

Salah satu raja Israel yang kisah hidupnya paling membekas dalam ingatan saya adalah Raja Ahab. Dari sekian banyak kisah mengenai kehidupan Ahab (dan pertarungannya dengan Elia), kisah kebun anggur Nabot menarik perhatian saya— mengingat kisah tersebut dapat mengajar kita tentang apa yang dapat kita lakukan, dan apa yang seharusnya kita lakukan, ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan.

Apa yang terjadi antara Raja Ahab dan Nabot?

Kisah Nabot dimulai dengan Raja Ahab yang jatuh cinta terhadap sebuah kebun anggur yang terletak dekat istana peristirahatannya di Yizreel. Ahab menginginkan kebun anggur tersebut bukan karena ia tidak memiliki sebuah kebun anggur, melainkan karena ia jatuh cinta dengan lokasinya.
Raja Ahab pun memanggil pemilik kebun tersebut, seorang penduduk Yizreel yang bernama Nabot.
Ahab pun memberikan penawaran yang luar biasa sebagai ganti kebun anggur Nabot. Ia menawarkan sebuah kebun anggur yang lebih baik (mungkin dari segi luasnya, atau dari segi kualitas tanah) jika Nabot mau memberikan kebun anggurnya kepada Ahab— dan jika Nabot tidak menginginkan sebuah kebun baru, Ahab dapat membayarnya secara tunai jumlah berapa pun yang Nabot tetapkan.

Sebuah penawaran yang baik, bukan?
Nabot tahu hal tersebut; ia juga tahu betapa besar resikonya jika ia menolak permintaan Ahab.
Meski begitu, Nabot menolak penawaran Ahab yang luar biasa itu.
Bukan karena kebun Raja Ahab yang lain tidak rimbun, bukan karena Raja Ahab tidak bisa memberikan nominal uang yang ia inginkan.
Nabot menolak penawaran Ahab karena ia menghargai perintah Tuhan.
Kepada Raja Ahab, Nabot berkata:

Jawab Nabot kepada Ahab: “Kiranya TUHAN menghindarkan aku dari pada memberikan milik pusaka nenek moyangku kepadamu!” (1 Raja-raja 21:3)

Apa yang dimaksud Nabot dengan ‘milik pusaka nenek moyang’ dan mengapa ia tidak boleh menyerahkannya kepada Ahab?

Dalam Imamat 25:23–28 kita dapat melihat peraturan yang ditetapkan Tuhan mengenai tanah milik orang Israel.

“Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-ku. (Imamat 25:23)

Ketika orang Israel tiba di Tanah Perjanjian, setiap suku menerima porsi tanahnya masing-masing, di lokasi yang telah ditentukan oleh Tuhan. Keluarga yang menerima sebuah tanah untuk dikelola dilarang menjual tanah tersebut kecuali jika mereka jatuh miskin dan terpaksa menjualnya (namun pada tahun Yobel, tanah tersebut wajib dikembalikan lagi kepada keluarga pemilik).
Perintah Tuhan ini diberikan kepada keluarga Nabot ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum Nabot lahir, namun Nabot tetap memilih untuk mengindahkannya, meskipun ia tahu resiko melawan raja.

Lalu masuklah Ahab ke dalam istananya dengan kesal hati dan gusar karena perkataan yang dikatakan Nabot, orang Yizreel itu, kepadanya: “Tidak akan kuberikan kepadamu milik pusaka nenek moyangku.” Maka berbaringlah ia di tempat tidurnya dan menelungkupkan mukanya dan tidak mau makan. (1 Raja-raja 21:4)

Ketika Ahab mendengar kalimat penolakan Nabot, ia pun mengurung diri dalam kamarnya dan mogok makan. Ahab merasa ia berhak memiliki kebun tersebut— semata-mata karena ia adalah raja Israel.
Meski Ahab merasa entitled dan meninggikan dirinya di atas perintah Tuhan, Ahab tidak memaksa. Ia melampiaskan kekesalannya, namun Ahab tidak menggunakan kekuasaannya untuk merebut kebun anggur Nabot.

Apa yang terjadi setelah itu?

Melihat suaminya mogok makan, Izebel pun bertanya-tanya. Ketika ia mendengar bagaimana Nabot menolak permintaan Ahab atas dasar menaati perintah Tuhan, Izebel bereaksi berbeda dari Ahab.
Ia langsung memerintahkan orang-orang untuk menjebak Nabot dan membunuhnya.
Izebel memaklumkan sebuah puasa dan mengumpulkan semua rakyat. Pada zaman itu, puasa bukanlah hal wajib, dan hanya dilakukan saat berkabung atau saat seseorang melakukan pelanggaran hukum Tuhan yang berat. Lalu, ia memerintahkan dua orang saksi palsu (sebuah perkara dianggap benar meskipun tidak ada bukti, jika terdapat dua atau lebih saksi) untuk bersaksi bahwa Nabot telah mengutuk Allah dan raja, di depan orang banyak.
Rakyat pun mengira ‘pelanggaran hukum Tuhan yang berat’ yang menyebabkan mereka berpuasa adalah dosa Nabot, sehingga mereka pun melempari Nabot dengan batu.

Ketika Ahab mendengar Nabot sudah mati, ia pun langsung bangun dari tempat tidurnya dan pergi ke kebun anggur tersebut untuk mengambilnya— tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Ya, tanpa rasa bersalah, karena meskipun Nabot mati, setidaknya Ahab mendapatkan apa yang ia mau, kan?

Saat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan

Dari sekian banyak doa dan permohonan yang kita panjatkan kepada Tuhan, ada berapa banyak yang Tuhan jawab?
Semuanya! Tuhan selalu menjawab semua doa dan permohonan kita.
Meski begitu, tidak semuanya dijawab sesuai dengan keinginan kita.

“Tuhan, berikan aku uang yang cukup supaya aku bisa pergi liburan akhir tahun nanti. Aku mau ajak orang tuaku jalan-jalan,”
“Aku mau beli sepatu basket baru agar bisa main dengan baik di pertandingan minggu depan, Tuhan,”
“Aku yang akan jadi ketua panitia Natal tahun ini, kan, Tuhan? Aku berjanji akan melayani-Mu dengan sebaik mungkin!”
“Tuhan, sembuhkan ibuku. Tuhan pasti akan menyembuhkan ibuku, kan? Ibuku orang baik, Tuhan,”

Apa yang salah dengan doa kita? Bukankah kita berdoa untuk hal-hal baik? Bukankah permintaan-permintaan kita tidak merugikan siapapun? Bukankah doa kita adalah untuk tujuan yang baik?
Mengapa Tuhan tidak mengabulkan doa kita yang baik?
Tuhan tidak pernah berjanji akan mengabulkan seluruh permintaan kita, permintaan yang ‘baik’ sekalipun. Tuhan akan mengabulkan permintaan kita jika apa yang kita inginkan sesuai dengan kehendak Tuhan. Bahkan hal-hal ‘baik’ yang kita doakan belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan, meskipun kita merasa apa yang kita inginkan tidak berlawanan dengan kehendak Tuhan.

Apa reaksi kita saat Tuhan tidak mengabulkan keinginan kita?
Apakah kita jadi membenci Dia? Apakah kita menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, seperti Ahab dan Izebel?
Bagaimana kita harus bereaksi saat kita tidak mendapatkan apa yang kita doakan?

Ketika Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemani pada malam penangkapan-Nya, apa yang ia doakan?
Tuhan Yesus tahu Ia akan ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk disalib, dan Ia ketakutan. Ia tahu Ia akan menderita, Ia tahu Ia akan mati.

“Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Lukas 22:42)

Meski Tuhan Yesus ketakutan, Ia tahu kalau kehendak Bapa-lah yang akan terjadi, bukan kehendakNya.

Ketika kita berdoa, kita harus terus mengingat bahwa meski Tuhan memperbolehkan kita untuk meminta kepada-Nya, pada akhirnya kehendak-Nyalah yang akan terjadi, bukan kehendak kita.
Meskipun kita menginginkan hal-hal yang baik, bukan berarti kita akan mendapatkannya. Tuhan akan membiarkan terjadi apa yang dinilai-Nya adalah yang terbaik, dan apa yang dinilai-Nya baik belum tentu baik di mata kita.
Kita harus menaruh iman kita di dalam rencanaNya, dan percaya kalau apa yang akan kita terima dari Tuhan akan jauh lebih baik dari apa yang kita minta.

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. (Roma 8:28)

Ketika kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan, tanamkan dalam hati kita bahwa tidak ada yang lebih manis dari kasih-Nya, tidak ada yang lebih indah dari penyertaan-Nya, dan tidak ada yang lebih sempurna dari rencana-Nya.

--

--

Abi

Sebab Dia tahu dari apa kita dibentuk, Dia ingat bahwa kita ini debu.